Senin, 17 Juni 2019

Buang Sampah Sih Enak, Coba Sekali-sekali Tinggal Sekitar Bantargebang

News Black Hole - * Untuk masalah sosial masyarakat, pemberian kompensasi dalam bentuk duit bau kepada sekitar 18 ribu warga sekitar TPST rupanya tidak menyelesaikan. Buktinya, sebagian besar warga tiga kelurahan di Kota Bekasi seringkali mengeluhkan nilai uang kompensasi.
* Masalah sampah yang menggunung di TPST sebenarnya bukan hanya dirasakan oleh tiga kelurahan yang secara administratif berada di Kota Bekasi. Warga sejumlah kompleks perumahan di Kabupaten Bogor juga kena dampak polusi udara.
* Warga sudah sering mendengar pemerintah Jakarta memiliki terobosan-terobosan untuk menangani sampah warga Ibu Kota. Dia berharap hal itu bisa dijalankan dengan baik agar tak melulu mengandalkan Bantargebang.***
Perhentian terakhir saya mengikuti perjalanan sampah orang Jakarta yaitu bertemu sejumlah warga perumahan yang berada di dekat Sungai Cileungsi, Kabupaten Bogor. 
Sejak dulu sampai sekarang, TPST Bantargebang selalu dirundung rupa-rupa soal. Mulai dari masalah manajemen sampai masalah sosial masyarakat.

Untuk masalah sosial masyarakat, pemberian kompensasi dalam bentuk duit bau kepada sekitar 18 ribu warga sekitar TPST rupanya tidak menyelesaikan. Buktinya, sebagian besar warga tiga kelurahan di Kota Bekasi seringkali mengeluhkan nilai uang kompensasi yang diberikan Jakarta tak sepadan dengan bau, risiko kesehatan, dan kerusakan lingkungan yang mereka rasakan.
Pekerjaan rumah pemerintah sekarang ini sebenarnya bagaimana memperluas definisi ganti rugi menjadi pembenahan lingkungan yang lebih baik.
Masalah sampah yang menggunung di TPST sebenarnya bukan hanya dirasakan oleh tiga kelurahan yang secara administratif berada di Kota Bekasi. Warga sejumlah kompleks perumahan di Kabupaten Bogor juga kena dampak polusi udara.
Tentu saja mereka tidak mendapatkan jatah uang bau dan bukan itu pula yang sesungguhnya diharapkan warga yang menetap di kompleks perumahan.
Saya mengajak bicara Sumanto, warga Bumi Mutiara, Desa Bojongkulur, Kecamatan Gunung Putri, Kabupaten Bogor, Rabu, Rabu 12 Juni 2019, untuk mengetahui seperti apa rasanya tinggal di perumahan dekat Bantargebang.
“Seperti abis hujan atau lama nggak hujan atau musim kemarau atau pagi. Misalnya lagi menguap di pagi hari, kita ingin menghirup udara segar, tapi malah bau sampah,” kata Sumanto.
“Baunya nggak enak, mengganggu hidung. Kadang-kadang di luar kan nyengat, kalau masuk rumah karena ada ventilasi di rumah, udara kan masuk ke rumah juga.”
Isu itu sudah sering menjadi pembahasan setiap acara kumpul-kumpul warga.

“Kadang-kadang misalnya warga lingkungan sering ngumpul, warga ngomong seperti tidak ada solusi baik pemda Bekasi maupun Jakarta, tapi imbasnya kan ke warga yang lain. Sering ngobrol-ngobrol gitu wae, antar tetangga maksudnya. Bukan ke aparat.”
Staf Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara itu berharap kepada pemerintah, terutama Jakarta, mengelola TPST Bantargebang dengan profesional agar tidak menjadi bom waktu bagi generasi mendatang.
“Pemprov DKI termasuk kaya, kenapa nggak mengelola sampah secara lebih profesional lagi. Misalnya, sudah penanggulangan untuk jangka panjangnya seperti apa, supaya daerah lain tidak terkena dampak. Karena itu kan jadi kena imbas Bogor ataupun Bekasi,” kata pria berusia 53 tahun.
Dia sudah mendengar pemerintah Jakarta memiliki terobosan-terobosan untuk menangani sampah warga Ibu Kota. Dia berharap hal itu bisa dijalankan dengan baik agar tak melulu mengandalkan Bantargebang.
Uap sampah Bantargebang juga dirasakan oleh Rusman Manyu, jurnalis yang tinggal di Vila Nusa Indah 5, Desa Bojongkulur. Tentu saja polusi udara sampai ke indera penciuman penduduk Vila Nusa Indah 5 karena jaraknya ke Bantergebang hanya sekitar dua kilometer.
“Cium bau pas anginnya lagi ke wilayah Selatan (Kabupaten Bogor), terus angin pas hujan, tapi cium baunya biasanya malem jam 10. Hampir setiap hari kalau malam, kalau pagi nggak kecuali hujan,” kata dia.
“Bau sampah, menyengat sih nggak banget menyengat. Cuma dia kerasa banget baunya.”
Walau terganggu, Rusman tidak melayangkan protes. Dia hanya menyayangkan saja kenapa masalah sampah tidak kelar-kelar juga.
“Protes sih nggak, di tempatku nggak, karena bukan wilayah terdampak terlalu besar, bukan setiap jam, pas angin aja, kalau malem aja.”
“Dampak kesehatan sih nggak, karena belum ada temuan, dampak paling bau ke rumahnya aja sih, meski sebetulnya sengatan aroma itu juga dampak. Saya nggak tahu peraturan berapa radiusnya harusnya DKI supaya tidak terdampak kesehatan. Tapi sejauh ini sih belum ada (dampak kesehatan) dari RT, RW.”
Rusman mengatakan lingkungan sekitar perumahannya banyak lahan yang sebenarnya bisa dimanfaatkan pemerintah untuk menanam pohon. Pohon berguna untuk menyaring polusi udara. Tapi sayangnya, sampai sekarang belum terlihat ada inisiatif aparat pemerintah membuat gerakan penanaman pohon, sebaliknya warga yang inisiatif menanam pohon.
“Wilayah-wilayah yang tercium bau sampah atau tidak terlalu bau sekitaran Bantargebang, atau wilayah Bantargebang, atau perumahan-perumahan deket Bantargebang itu harusnya dibikin penghijauan. Karena itu kan memfilterisasi bau dan macem-macem dampak. Harusnya itu.”
“Saran saya, tempat saya banyak tanah-tanah kosong sama warga dibikin taman produktif, tapi itu biaya sendiri, kita inisiatif aja. Padahal itu yang perlu dipikirkan. Saran aku lebih cenderung penghijauan lebih penting.”
Rusman dapat memahami kenapa Jakarta menjadikan Bantargebang sebagai tempat pengelolaan sampah. Hanya saja, dia berharap pengelolaan sampah dilakukan lebih baik lagi untuk meminimalisir dampak terhadap lingkungan hidup dan masyarakat sekitar.
“Sebetulnya karena nggak ada tempat yang lain lagi sih, karena yang paling representatif ya Bantargebang, nggak tempat lain, gitu. Dan bukan cuma orang Jakarta yang buang ke sana, tapi Depok, atau apa lari ke situ juga kan,” kata dia. []


Sumber : Akurat.co

Tidak ada komentar:

Posting Komentar